28 Desember 2009

Yogyakarta Tak Lagi Perawan

Malam dikota pelajar seharusnya identik dengan kesunyian, bukan gemerlap lampu dan degup kencang alunan musik. Beberapa mahasiswa lebih memilih buku sebagai pilihan kegiatan sebelum tidur, namun mayoritas lebih berkutat dengan kegiatan nongkrong dan yang lebih jauh lagi adalah portitusi terselubung di tempat nongkrong tersebut.

Perawan, adalah sebuah kata yang menyaratkan keaslian yang belum terjamah. Namun kata tersebut tidak lagi dapat disandang oleh Yogyakarta yang memiliki predikat sebagai kota pelajar. Dari beberapa peristiwa yang terjadi pada malam di Yogya, ditemukan fenomena yang cukup mengagetkan. Mayoritas mahasiswa yang menjadi sumber berita, lebih memilih nongkrong dibanding menghabiskan waktu di kos-kosan untuk belajar. Menurut Iwan dan Jono (nama disamarkan), nongkrong menjadi salah satu pilihan aktivitas yang menyegarkan otak sesudah kuliah. Akan tetapi tak hanya refresh, mereka juga mencari kesenangan lain. Kesenangan yang dimaksud disisni adalah portitusi terselubung dengan harga murah bahkan gratis.
Salah satu tempat favorit mereka untuk menghabiskan sisa waktu malam adalah warung cafe. Hanya bermodalkan kurang lebih 10 ribu rupiah, mereka sudah dapat bersenang-senang, bergumul dengan teman hingga mendapatkan wanita. Iwan menambahkan perkataan Jono, ketika ditanya mengenai wanita tersebut “Ya nda lah, mana mau aku punya cewek bekas orang. Untuk dipakai seneng-seneng aja, digilir bareng-bareng.(ketawa)”. Sungguh diluar dugaan, hal inilah yang menjadi kekhawatiran orang tua, anak yang mereka harapkan untuk menuntut ilmu dengan baik malah terjerumus dalam pergaulan bebas, seperti yang dituturkan pak Hendrin “Saya khawatir anak saya terjerumus dalam pergaulan bebas, karena hampir setiap malam anak saya nongkrong di cafe-cafe yang ada di sekitaran kampusnya, sehingga studinya agak terbengkalai”.
Fenomena lain yang juga cukup menarik perhatian adalah pergaulan bebas yang mengarah pada percintaan sejenis. Pada sebuah club di Jogja, malam rabu menjadi malam khusus untuk para “Guy” (pecinta sesama lelaki-red). Dimana alkohol menjadi minuman wajib bagi mereka para clubbers. “Clubbers tanpa minum?’wah kurang afdol rasanya, bagai sayur tanpa garam”, ucap Bima.
Diantara fenomena-fenomena diatas, ternyata masih ada hal-hal positif yang masih tersisa. Tidak semua orang yang masuk ke cafĂ© kopi dapat diinterpretasikan dengan hal negative. “Kalau aku lebih seneng nyari ide buat bikin lagu kalo pas lagi nongkrong ma anak-anak” ujar May, seorang mahasiswi music UNY. Sehingga kegiatan nongkrong dapat menghasilkan suatu hal positif, seperti yang dialami oleh May dengan mendapatkan inspirasi untuk mmbuat lagu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Andra, menurutnya efek nongkrong tergantung kita sendiri, ingin menjadikannya hal yang baik atau buruk.
Oleh karena itu, salah satu komunitas yang menamai diri mereka dengan “The Chicken”, memilih melakukan tindakan positif dengan aktivitas nongkrong. Misalnya dengan melakukan kegiatan bakti social (baksos) ketika terjadi bencana alam dan rutinitas lain seperti berbagi informasi tentang komunitas itu sendiri dengan sesama anggota. Sehingga membuat komunitas tersebut mempunyai citra positif walaupun mereka sering nongkrong. The Chicken merupakan suatu perkumpulan anak muda pecinta mobil/club mobil di Jogja. “Tidak semua perkumpulan mahasiswa bisa dikatakan negative, di perkumpulan the Chicken ini bisa dikatakan wadah mereka untuk berbagi informasi dan pengalaman. Tentunya dengan tujuan yang sama dapat menambah informasi mengenai modifikasi yang up to date dan oke punya”, ujar Ardi salah satu anggota The Chicken.
Selain itu, sisi lain dari kota Yogyakarta yang masih menarik minat wisatawan lokal maupun domestik adalah Alun-alun Kidul atau sering disebut Alkid. Tempat yang sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda ini sarat akan unsur mistis sehingga banyak dari anak nongkrong tersebut tidak melakukan hal yang dilarang. ”Kebanyakan yang datang itu anak muda, dan biasanya mereka sekedar kumpul-kumpul saja”, jelas Suwaryono, penjaga parkir Alkid. Tidak hanya itu, beberapa wisatawan yang datang hanya untuk berlibur atau mencoba melewati dua pohon beringin yang terkenal di Yogyakarta. Tersedia juga berbagai macam mainan, jasa sepeda gandeng ataupun mini becak / andhong, dan berbagai sajian kuliner.
Dengan adanya hal-hal positif diatas, dapat terlihat bahwa Yogyakarta yang sering dicibirkan negatif ternyata juga banyak memiliki hal-hal yang positif. Selain itu nilai budaya Yogyakarta yang ada tidak akan hilang, seperti semboyan yang mengatakan bahwa ”Yogyakarta is Never Ending Asia” yang berarti Yogyakarta sangat lekat dengan kebudayaan Jawa, khususnya merupakan miniatur dari Asia.

Penulis : Dewi Kurniawati (153080192), Adevia Oki Damara (153070167), Desy Natalia (153070252)
Pewawancara : crew Redjog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar