11 Januari 2010

Kost-kostan Juga digunakan Sebagai Ajang Free Sex

Kos-kosan salah satu tempat tinggal alternatif bagi mahasiswa yang tidak memiliki kerabat di Jogja. Bukan berarti kos-kosan tempat yang bebas untuk melakukan sesuatu hal yang negatif. Tapi realitanya saat ini ditemui kos-kosan yang dipakai justru bukan hanya sebagai tempat tinggal saja melainkan digunakan sebagai ajang Free Sex.

Semakin banyaknya mahasiswa yang berdatangan di Jogja ini membuat bisnis kos-kosan meningkat, hal ini karena kota Jogja merupakan kota Pelajar yang memiliki perguruan tinggi negeri yang baik maupun perguruan tinggi swasta yang ternama. Tak heran bila banyak mahasiswa yang berasal dari luar kota rela datang jauh-jauh untuk ke Jogja untuk menimba ilmu. Saat itu yang terlintas dalam benak mereka adalah bagaimana mencari tempat tinggal sementara. Banyaknya pilihan tempat tinggal di Jogja membuat mahasiswa bingung untuk memilih. Kebanyakan tempat tinggal sementara itu berupa kontrakan, asrama, kost-kostan, mess dan wisma mewah yang seharusnya untuk para pekerja. Dari banyaknya pilihan sebagian besar mahasiswa memilih kost sebagai tempat tinggal sementara mereka.

Ada hal yang menarik yang bisa ditangkap dari fenomena kost-kostan, yaitu semakin bebasnya peratutan kost-kostan semakin dicari-cari mahasiswa saat ini. Tidak dipungkiri lagi pasti alasannya ingin melakukan sesuatu yang leluasa tanpa harus mematuhi tata tertib yang terlalu mengekang. Menurut pendapat Ibu Endang selaku Ibu kos putra di daerah Tambakbayan 4 nomor 8 mengatakan cenderung mahasiswa yang ingin mencari kos lebih mengutamakan kata “kebebasan” dibandingkan dengan kata kenyamanan. “Ya, mereka itu rata-rata menanyakan kost-kostannya bebas gak buk?? Terang saja saya menjawab tidak” ujar wanita 40 tahun ini . Terbukti saat ini kost-kostan yang bebas justru lebih diminati mahasiswa dari pada kost-kostan yang peraturannya ketat. Menurut ferdi salah satu penghuni kost yang bebas mengatakan kost yang bebas lebih menguntungkan ketimbang ada peraturan.

Berbeda lagi dengan perspektif Pak Budi selaku pemilik kos putra di Jalan Seturan menurutnya kos-kosan yang bebas justru menguntungkan. “Saya sengaja tidak memberikan peraturan yang ketat, namanya juga kost-kostan cowok masak mau di kekang ya asal bayarannya tidak telat aja saya gak marah” tuturnya. Dari perbedaan perspektif sudah terlihat adanya perbedaan antara Pak Budi dengan Ibu Endang. Tetapi intinya saat ini kost yang bebas tetap menjadi sasaran utama dalam pencarian tempat tinggal sementara.

Semakin bebasnya kost-kostan di Jogja semakin pula banyak diminati mahasiswa. Ini di karenakan anak kos lebih suka tidak terikat dengan peraturan. Dengan bebasnya kost-kostan ini memungkinkan juga para penghuninya untuk melakukan sex bebas.

Setiawan Yogie Harsono
153070183

Solidaritas Sesama Penghuni Kost


Layaknya anak perantauan yang sedang menimba ilmu di kota lain, dan juga dikarenakan tidak ada sanak saudara, maka pilihan hidup untuk kost seperti harus dilakukan untuk tempat tinggal sementara. Penghuni kost berasal dari berbagai macam orang dari beberapa daerah dan suku di Indonesia. Tidak semuanya kuliah di tempat yang sama, walaupun mayoritas adalah mahasiswa atau mahasiswi yang berkuliah di Jogjakarta.

Mahasiswa yang ingin belajar ke Perguruan Tinggi di Jogjakarta bukan hanya berasal dari daerah Jawa dan sekitarnya. Mahasiswa yang belajar disini berasal dari sabang hingga ke merauke. Hal ini membuat mahasiswa jauh dari orang tua, maka para mahasiswa yang ngekost membutuhan teman kost untuk bersosialisasi.

Para penguhi mendekatkan diri kepada teman sebelah kamar kostnya agar tidak merasa hidup sebatang kara di perantauan. Solidaritas anak kost biasanya lebih tinggi dari pada para penghuni perumahan real estate. Ini dikarenakan mereka hidup dari rumah dan jauh dari orang tua.

Salah satu penghuni kost putra di daerah seturan, sebut saja namanya dito. Ia kuliah di Atma Jaya jurusan teknik industri mengatakan bahwa anak kost harus mempunyai rasa solidaritas yang tinggi agar dapat menciptakan keharmonisan di lingkungan kost ia tinggal. Bahkan Ia mengatakan “satu atap satu keluarga”. Maksud dari perkataan tersebut ialah agar para kost anak harus mengertia ia tinggal dengan orang lain tapi harus dianggap sebagai salah satu keluarga.

Setiawan Yogie Harsono
153070183

Hari ini makan, Besok Belum Tentu Makan

Kalimat di atas sempat terlontar dari salah satu anak jalanan yang ada di Kota Yogyakarta. Sarmin adalah anak jalanan yang kegiatannya mengamen di lampu merah demi mendapatkan uang untuk membeli sesuap nasi. “Hari ini makan, besok belum tentu makan” terlontar dari mulutu bocah berusian 8 tahun dengan wajah pesrah dan penuh harapan. Namun sesungguhnya ia salah satu dari anak jalanan yang memiliki cita-cita untuk meneruskan pendidikannya.

Sungguh ironis di kota pelajar ini bayangan kita adalah Kota Jogja yang di padati dengan para pelajar, memang semua itu kenyataannya. Namun tidak dipungkiri masih ada segelintir orang tidak dapat merasakan hal itu. Salah satunya Sarmin, sejak ditinggal ayahnya Ibu bocah ini tidak dapat membiayai sekolah sarmin. Bahkan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya masih sangat minim. Ibu Sarmin juga bekerja sebagai pengamen jalanan tak heran untuk mendapatkan sesuap nasi mereka mengandalkan kecrekan tutup botol.

Sejak usia Sarmin 4 tahun ia sudah ditinggal oleh Ayahnya karena sakit-sakitan. Sarmin dan Ibunya tinggal di kontrakan sempit tepatnya di desa Karangwaru Jalan Magelang Yogyakarta. Sarmin mengenal kehidupan jalanan saat usia 4 tahun, Ia selalu menemani Ibunya agar pengahasilannya lebih banyak.

Pekerjaan ini terpaksa ia lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup kedua orang tersebut. Ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup kecuali dengan cara mengamen. Menurut sarmin “lebih baik jadi pengamen yang menjual suara dari pada hanya meminta belas kasihan orang lain dan apalagi menjadi seorang pencuri atau maling.”

Kerja keras yang dilakukan oleh seorang anak umur 8 tahun ini perlu masyarakat apresiasi. Masyarakat bukan hanya mencela hidup seorang anak jalanan. Mereka terpaksa melakukan perkerjaan tersebut karena tuntutan untuk hidup. Bahkan pemerintah juga harus memelihara anak jalanan.

Fenti Diana
153070177


Sisi Lain Seorang Anak Jalanan

Sarmin mulai mengamen pada pagi hari jam 10 pagi hingga jam 5 sore hari. Ia mengamen paling sedikit 7 jam. Penghasilan ia mengamen hanya mendapatkan sepuluh ribu saja. Dan bila beruntung ia mendaptkan tiga puluh lima ribu rupiah. Namun untuk menuju angka tiga puluh lima ribu sangatlah sulit, semua itu terjadi karena faktor keberuntungan. Uang yang di dapat sehari ia mengamen semua diberikan Ibunya, karena Sarmin sadar uang dari hasil mengamenlah yang dapat mencukupi kehidupannya. “Kasihan sama ibu kalo aku gak bantuin ngamen” kalimat itu terucap dari bocah 8 tahun.

Lagu yang dibawakan Sarmin saat mengamen biasanya lagu-lagu orang dewasa. Sarmin memeliki lagu favorit saat mengamen yaitu Cari Pacar Lagi yang dibawakan oleh St12. Ia senang lagu tersebut karena Sarmin ngefans dengan Charli St12, dan ia berharap ingin bertemu dengan idolanya. Hal yang sangat disenangi dari bocah tahun ini saat ada orang-orang yang membagi-bagikan makanan. Karena menurutnya ia tidak perlu membeli makanan lagi.

Sedangkan hal yang paling dibenci menurutnya bila ada “Razia Gepeng” razia gelandangan dan pengamen. “Habis kalo ada Razia Gepeng nanti pasti ikut dinaekkan ke mobil, aku takut kalo diangkut” kata Sarmin. Dengan muka polosya bocah ini berbicara. Dan ada lagi yang dibencinya bila ia tidak dikasih uang saat mengamen. Bocah ini mengatakan tidak takut saat mengamen dijalan yang penuh lalu lalang kendaraaan karena baginya jalan yang penuh lalu lalang dengan kendaraan adalah sumber penghasilannya.

Di lampu merah perempatan jalan Magelang ini adalah sumber mata pencahariannya. Saat mengamen Sarmin masih dapat bermain dengan teman-temannya namun permainan yang dilakukannya tetap saja di jalan tidak seperti anak-anak beruntung yang lain. Sesungguhnya Sarmin ingin bersekolah melanjutkan Sekolah Dasanya yang ia tinggalkan satu tahun yang lalu saat ia berusia 7 tahun. Namun karena faktor ekonomi ia rela tidak bersekolah hingga memilih membantu orang tuanya dengan bekerja sebagai pengamen.

Berbeda lagi dengan apa yang dikatakan Sri Wahyuni, salah satu pengendara sepeda motor yang saat itu melintas di tempat biasa Sarmin mengamen. Menurutnya ia malas memberikan uang receh pada pengamen, karena dianggap mereka hanya malas dan berpura-pura saja. “Keenakan orang tuanya kalau kita ngasih, kenapa sebagai orang tua tidak menjaga tapi malah sudah disuruh bekerja” kata Sri saat dimintai pendapat. Menurutnya tidak masalah bila sesekali ia memberi tetapi lama kelamaan ia bosan. Memang kadangkala ada rasa iba bila melihat bocah yang tidak sepatutnya bekerja namun sudah bekerja.

Adalagi perspektif dari Pak Sugi selalu polantas yang berjaga di perempatan lampu merah jalan Magelang, menurutnya wajar mereka semua mencari pekerjaan dengan mengamen atau meminta-minta kaena memang tidak ada lagi yang dapt mereka kerjakan selain mengamen. Rasa iba sering membuat Pak Sugi kadangkala memberikan sebungkus nasi untuk Sarmin, karena selain kenal dengan Sarmin Pak sugi sering mengobrol dengannya. “Saya sok kasihan lihat Sarmin, dia paling keci yang ngamen ditempat ini, lagian bapaknya juga sudah tidak ada” ujar Pak Sugi saat dimintai keterangan mengenai anak jalanan. Sebenarnya kota Jogja sudah menteribkan anak jalanan namun masih sulit bila harus mengrus begitu banyak anak-anak jalanan yang ada di kota Jogja.

Sungguh memprihatinkan keadaan kita, di jaman ini masih ada segelintir anak-anak yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan namun masih ada yang buta akan artinya pendidikan. Itu semua karena terbengkalainya masalah ekonomi yang dihadapi oleh kaum menengah kebawah. Bahkan yang lebih memperhatikan untuk mencari sesuap nasi perlu adanya tujuh jam bekerja sebagai pengamen, bahkan menunggu bila ada keberuntungan dari orang-orang yang akan membagikan sebungkus nasi. “Yah hari ini makan, besok belum tenti makan” ujar Sarmin si bocah cilik berusia 8 tahun yang kesehaari-hariannya menunggu lampu merah untuk bernyanyi dengan kecrekan andalannya.
 
Fenti Diana
153070177

GAUL BEBAS DI KOST


Pergaulan bebas belakangan ini sedang marak di kalangan remaja, tetapi siapa sangka jika hal tersebut dilakukan di kost-kostan, pelakunya pun masih berstatus mahasiswa. “Kost tu tempat yang murah, nyaman, dan menyenangkan untuk bergaul dan bergumul dengan pacar..”ujar Aji, seorang mahasiswa yang mengaku sebagai pecinta wanita.



Sebuah kebebasan, yang biasa menjadi tujuan seorang pelajar atau mahasiswa jika memilih untuk hidup mandiri dengan ngekost. Atau berawal dari pendidikan yang harus ditempuh di tempat yang jauh dari rumah. Tidak terlalu banyak mahasiswa yang benar-benar bisa memanfaatkan kebebasan tersebut dengan hasil atau prestasi belajar yang memuaskan. Seperti yang diungkapkan Rafiq, mahasiswa angkatan 2004 yang hingga kini belum menyelesaikan program serjananya, “Kemarin sibuk main, jadi sekarang ngerjain skripsi kaya kebakaran jenggot. Mesti buru-buru”. Tak jauh dengan pengalaman tersebut, Maharani juga harus lulus dari program sarjana dengan waktu kurang lebih 7 tahun. Mahasiswi tomboy lulusan Institut seni Indonesia jurusan perkusi ini, sibuk dengan berbagai kegiatan diluar kampus dan pergaulan membawanya untuk selalu menunda kelulusannya.


Kost menyediakan berbagai fasilitas yang menggiurkan, salah satunya privasi seutuhnya, yang mungkin tidak diperoleh sebelumnya. Penggunaanya pun variatif, dari hal baik hingga yang berbau dengan negatif. Salah satu yang beranggapan bahwa kebebasan hanya dapat diperoleh diluar rumah adalah Edi, “Mana aku bisa bawa pacarku nginep kalo masih tinggal sama ortu”. Jika di kost ia bisa melakukan apa saja, tanpa harus ditegur atau dilarang oleh orang tua, termasuk membawa wanita untuk menginap. Ketika ditanya tentang wanita yang selalu dibawanya, ia menjawab “Bukan pacar asli sih, pacar untuk semalem aja”. Ia mendapatkan wanita tersebut hanya dari perkenalan di sebuah klub atau ditempat nongkrong yang kemudian berujung di kamar kost. Menurut Edi, saat muda harus dipergunakan untuk mencapai kesenangan yang mungkin tidak didapatkannya ketika ia menikah dan berkeluarga nanti.


Edi bukan satu-satunya mahasiswa yang berpendapat demikian. Sebut saja Aji, ia juga melakukan hal yang sama. Menurutnya kost adalah tempat yang paling nyaman untuk melakukan apa saja, karena selain privasi terjaga ia juga terlepas dari larangan-larangan yang selama ini membatasinya. Baginya bisa berhubungan intim dengan banyak wanita adalah sebuah kebanggaan, “Nggak semua laki-laki bisa ngelakuin itu loh” jelasnya. Dan semua hal itu ia lakukan di kost, ia mengaku tidak takut dengan ibu kos karena sejak ia masuk ke kos tersbeut tidak aturan yang melarang membawa tamu menginap, baik pria ataupun wanita.


Aji juga menjelaskan bahwa wanita yang diajaknya menginap tidak pernah sama karena ia mudah merasa bosan dengan seorang wanita. Ia mendapatkan wanita dengan berkenalan di club atau lewat jejaring sosial internet seperti facebook atau chatting. Bahkan beberapa kali ia juga mendapatkan wanita dengan ‘membeli’, “Kalau pas nggak dapet cewek, biasanya aku beli ayam kampus gitu. Lagian mereka lebih aman walaupun mahal” ujarnya. Sejauh ini ia masih merasa aman, dan tidak ada kendala karena ia melakukan hal tersebut dengan menggunakan pengaman.


Nada yang sama dikemukakan oleh Maharani, ia beranggapan bahwa sesorang jika ingin gaul secara total harus berada dalam lingkungan yang bebas dari aturan. Setidaknya aturan wajib, seperti aturan orangtua. “Sejak ngekos, aku lebih bebas melakukan apa saja” ujarnya, ia juga mengenal pergaulan bebas yang membuatnya sekarang menjadi seorang lesbian. Sebenarnya ia telah merasa keanehan dalam dirinya yakni menyukai sesama wanita sejak lama. Namun hal tersebut tidak tertindak lanjuti karena pengawasan orangtua yang begitu mengikatnya. Setelah ia hidup sendiri di kos, ia mulai mengenal dunia lesbian lebih dalam. Apalagi teman satu kost juga ada yang berorientasi seksual sama.


Pergaulan bebas menjadikan banyak orang terjerumus, tetapi semua itu pilihan. Seperti pendapat Andra tentang pergaulan bebas yang terjadi saat ini, “Keinginan untuk menjadi baik atau tidak, semua tergantung pribadi masing-masing” .


Pewawancara dan penulis : Dewi Kurniawati - 153080192







DIBALIK TIRAI KOST-KOSTAN


FENOMENA KOST-KOSTAN
Kost bisa memiliki banyak fungsi, dari tempat beristirahat, tempat belajar hingga tempat bercumbu. Ada mahasiswa membuat kost sebagai tempat istirahat sekaligus kantor, tempat ia bekerja. Tetapi tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan kost sebagai tempat melampiaskan nafsu sesaat.


Kost atau rumah sementara sudah menjamur hampir di seluruh wilayah di pulau Jawa. Kost menjadi pilihan tempat sementara bagi mereka yang merantau untuk bekerja, menimba ilmu atau bagi orang yang hanya sekedar ingin memiliki privasi. Sebagai salah satu kota yang dituju wisatawan, dan kota yang menjadi tujuan bagi para pelajar, Yogyakarta tentunya menjadi salah satu kota dengan jumlah kost-kostan yang cukup banyak. Di balik tempat yang mayoritas dihuni mahasiswa tersebut terdapat berbagai macam kejadian. Dari ukiran prestasi hingga peristiwa portitusi, namun tempat itu hanya menjadi saksi bisu atas semua yang telah mereka lakukan.

“Di kost saya ini, laki-laki tidak boleh masuk. Cuma sampai teras aja” ujar Maryati, pemilik salah satu kost putri di Babarsari. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi adanya pergaulan bebas yang sedang marak sekarang ini. “Walau cewek tetap saja saya tidak percaya, wong cewek-cewek zaman sekarang banyak yang ‘berani’ alias nggak bener” tambahnya. Bu maryati seakan ingin menegaskan bahwa yang terjadi pada pergaulan remaja di Jogja saat ini tak lagi dapat disepelekan. Tidak sedikit mahasiswi yang terjerumus dalam pergaulan bebas hanya karena putus cinta atau karena bermasalah dengan keuangan. Sebut saja Melati, siswi ini salah satu perguruan swasta di Jogja ini telah beberapa kali menggugurkan kandungan karena pergaulan bebas. “Saya kan nggak mungkin jujur sama orang tua mba, bisa-bisa saya diusir dan nggak diakui anak lagi sama mereka” ujarnya. Hal tersebut bisa terjadi karena kost yang hingga sekarang masih ia tinggali merupakan kost bebas, sehingga pacarnya setiap waktu bisa tidur dan menginap bersamanya.

Ada pula mahasiswa yang benar-benar memanfaatkan kost sebagai tempat untuk belajar atau berlatih. Seperti yang dikerjakan oleh Alex, mahasiswa rantauan asal Palembang, ia membuat tempat istirahatnya tersebut sekaligus menjadi kantor baginya. Karena di tempat itu pula ia biasa mengerjakan design clothing, pesanan dari para pelanggannya. Hal serupa juga dilakukan oleh I Putu Yudi Cahyana, ia biasa menghabiskan waktu dikost untuk berlatih drum. Hal tersebut dilakukannya karena ia masih tercatat sebagai mahasiswa Univeritas Negeri Yogyakarta jurusan seni musik, “Aku biasa latian di kost, soalnya kalo dikampus alatnya terbatas” jelasnya. Kost tempat ia tinggal tergolong kost bebas, karena teman atau siapapun yang berkunjung tidak dibatasi ruang atau waktunya. Namun hal tersebut tak menjadikannya sebagai mahasiswa yang liar, “Sebenernya bisa-bisa aja aku bawa pacar kesini, nginep juga bisa tapi resiko kan aku juga yang tanggung, jadi main aman aja deh” ujar Yudi ketika ditanya seputar kebebasan di kostnya.

Bagi bu Maryati, aturan dan batasan-batasan yang diberlakukan di sebuah kost-kostan wajib dilakukan. Selain memberikan rasa aman bagi penghuninya juga membuat tenang pemilik kost. Banyak kejadian yang membuat trauma bagi beberapa pemilik kost, pak Y (nama samaran) salah satunya “Dulu pernah ada yang ketangkep bawa narkoba, alhasil kost saya jadi sepi karena anak-anak yang ngekost pada keluar, katanya pada takut kalo kesangkut. Saya kan jadi rugi”. Bukan hanya itu saja, ia juga pernah dituntut orang tua dari mahasiswi yang ngekost ditempatnya, karena anak tersebut hamil. Pak Y cukup kapok dengan kejadian-kejadian tersebut, sehingga kini ia terapkan aturan baru. Salah satunya adalah tamu yang menginap wajib lapor pemilik kost.

Namun demikian kost bebas tetap menjadi primadona para mahasiswa/i, “kalau saya lebih memilih kost bebas seperti kost saya sekarang ini, soalnya selain kuliah saya nyambi kerja jadi penyanyi cafe, jadi sering pulang malem” ujar Dian. Seakan mendukung pernyataan Dian, X juga berpendapat sama, lebih memilih kost bebas daripada kost terbatas. Tetapi X memiliki alasan lain mengapa ia memilih kost yang bebas, “kalo kostnya ngga bebas, gimana aku ma servis pelanggan-pelangganku” karena selain kuliah, ia juga bekerja memiliki profesi lain, yaitu sebagai “ayam kampus”.

Kost bebas sering kali juga meresahkan masyarakat sekitar, seperti yang dituturkan bu Ida, salah satu warga yang berada di sekitar kampus Institut Seni Indonesia. “Disini banyak kost yang bebas mba, dari pada yang ngga” ujarnya, Ketika ditanya mengenai gangguan yang terjadi, ia mengatakan sebenarnya cukup membuat risih dengan adanya kost-kost bebas tersebut, bisa membawa dampak buruk bagi anak-anak khusunya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalah dari mayoritas. Pendapat berbeda diungkapkan bu Watik yang juga warga daerah tersebut, baginya kost bebas justru berkah tersendiri bagi usaha warung makan 24 jam miliknya, “Kalo semua kost disini ngga bebas, yang ngalirisi (membeli makanan) warung saya ngga ada mba. Soalnya lebih banyak yang dateng malem daripada siang” ujarnya.

Kost yang notabene sebagai tempat istirahat, dapat menjadi tempat apa saja. Tidak selalu identik dengan yang negatif karena perbuatan melanggar norma dapat dilakukan dimana saja, di kost beraturan sekalipun. Menurut silvi, kost memang tidak seharusnya menjadi tempat untuk berbuat hal negatif karena jika asumsi itu berkembang menjadi opini publik, maka banyak pihak akan dirugikan termasuk mahasiswa penghuni kost lain. Dalam hal ini semua pihak harus pintar dalam menyikapinya.

*Identitas Pak Y dan X dirahasiakan sesuai keinginan nara sumber

Pewawancara : Dewi Kurniawati - 153080192

Penulis : Dewi Kurniawati - 153080192


Jatuh Bangun Pengusaha Laundry, Deddy Iskandar

Queen Laundry, itulah usaha laundry milik Deddy Iskandar. Pria yang akrab disapa Deddy ini adalah salah satu dari sekian banyak perantau yang berasal dari Pagatan, Kalimantan Selatan. Jauh merantau Deddy berniat untuk menimba ilmu di Yogyakarta. Pria yang masih berstatus mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan ini telah tiga tahun menggeluti usaha laundry. Berawal dari keborosannya me - laundrykan pakaiannya, Deddy berinisiatif untuk membuka usaha cuci - mencuci ini. Hasil dari menjual mobil pribadinya, Deddy mulai merintis usaha laundry. Ia menyewa ruang usaha di perempatan Rejowinangun. Awalnya beberapa teman sempat meragukannya, karena di kawasan tersebut jauh dari institusi pendidikan. Namun Deddy tetap pada keyakinannya. Ia pun menetapkan pasar sasarannya pada rumah tangga. Tanpa diduga, ternyata respons yang didapat sangat positif. Usaha laundry Deddy ramai mendapat " job". Bahkan pernah dalam sehari Queen Laundry mendapat 300 kg cucian per hari. Bahkan Deddy dalam sebulan Deddy bisa mendapat keuntungan bersih mencapai Rp 15.000.000,00 dari usaha laundrynya ini. Seiring berjalan waktu, rival - rival pun mulai berdatangan. Awalnya omset sempat menurun karena kehadiran laundry - laundry baru di sekitar tempat usahanya. Namun itu tak membuat Deddy gentar. Ia menciptakan terobosan baru. Setiap pencucian minimal 5kg, customer mendapat 1 kupon yang bila dikalikan 10 customer mendapat gratis layanan satu kali cuci. Strategi ini cukup ampuh. Pernah rival laundry lainnya menyerang dengan banting harga, awalnya memang cukup berpengaruh bagi usaha Deddy. Namun lagi - lagi ia menciptakan terobosan baru. Dengan bekerja sama dengan Arya Persada Group, Queen Laundry memberikan kupon undian pada setiap customernya berhadiah handphone. Karuan saja hal tersebut kembali menaikkan jumlah customernya. Selain selalu menciptakan inovasi baru, Queen Laundry selalu mengutamakan kualitas pelayanan. Mungkin harga sedikit mahal ketimbang harga yang dipasang rival laundry di sekitarnya, namun kualitas tetap nomer satu.
Queen laundry juga memberikan layanan antar jemput bagi customernya dengan minimal 5 kg cucian. Sehingga customer yang tak sempat mengantar atau mengambil laundry nya dapat menggunakan layanan ini. Tinggal konfirmasi saja pada pihak Queen.
Sampai saat ini Queen Laundry mengalami perkembangan yang cukup pesat. Berkat hasil kerja keras serta kegigihannya Deddy sudah mempunyai 5 agen Queen laundry, yang berlokasi di Papringan, Timoho, Baciro ( dua tempat ), dan Jalan Wonosari. Kelima Agen ini memiliki pusat layanan di Outlet Queen Laundry yang berlokasi di perempatan Rejowinangun.

Nama: Hanun Wuryansari
NIM : 153070255