Berwirausaha tidak hanya dapat dilakukan oleh kalangan orangtua saja tetapi dapat juga dilakukan oleh mahasiswa. Tidak juga dapat dilakukan oleh mahasiswa yang menempuh pendidikan jurusan bisnis atau yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi dalat juga dilakukan oleh semua kalangan mahasiswa yang berjurusan apa saja. Mendapatkan keuntungan bukan merupakan prioritas utama, selain itu pembelajaran dalam bekerja sangat bermanfaat dengan cara berwirausaha sambil berkuliah.
Kintan (20), seorang mahasiswa konsentrasi public relation, juga dapat mebuka usaha pernak-pernik anak kecil dan wanita. Barang yang disediakan adalah kalung, penjepit rambut, dan pin dengan harga berkisar dari 1500 hingga 5000 rupiah. Berawal dari ketidaksengajaan, Kintan dan bersama kedua teman SMA, Wati dan Yayuk, suatu ketika sedang berjalan-jalan di Pasar Beringharjo menemukan sebuah toko pernak-pernik yang menjual berbagai barang jadi dan belum jadi, hal ini membuat Kintan mencetuskan sebuah ide untuk memproduksi pernak-pernik dan menjualnya bersama-sama. Ide tersebut disetujui oleh Wati dan Yayuk sehingga mereka memulai produksi dengan modal yang minim yaitu Rp 30.000,-.
Dalam bidang produksi dipercayakan kepada Yayuk, yang terkenal kreatif dan pintar menjahit, sedangkan Kintan dan Wati bertugas memasarkan barang produksi. strategi pemasaran yang mereka gunakan adalah menghampiri calon pelanggan dan menawarkan barang yang dijual. Mereka tidak suka menunggu calon pembeli datang menghampiri, tetapi lebih senang jika mereka yang menghampiri calon pembeli. Kepuasan yang mereka dapatkan adalah ketika seorang pembeli menggunakan produk yang mereka jual, hal tersebut sangat membuat senang tiga sahabat ini. Walaupun diakui bahwa keuntungan yang mereka dapat tidak terlalu banyak, tetapi setidaknya mereka dapat membeli kebutuhan tambahan dengan hasil tersebut. ”Tambah-tambah uang jajanlah”, lanjut Kintan.
Hal tersebut dikarenakan segmen penjualan mereka adalah anak-anak hingga mahasiswa yang dikhususkan kepada perempuan saja maka keuntungan yang diambil juga disesuaikan dengan segmen penjualan. Mereka bertiga menyadari bahwa pernak-pernik bukan merupakan kebutuhan primer seseorang sehingga kemunculan barang tersebut disebut dengan musiman atau layaknya seperti trend yang sedang berkembang. ”Ya kalau laku sih ya syukur, kalau ngak ya udah, gak papa”, ungkap Kintan. Walaupun sudah tidak gencar lagi dalam berjualan seperti 1 tahun yang lalu –awal mulai membuka usaha- namun mereka siap untuk menerima pesanan.
Lain hal dengan Kintan, Uwik (18) memilih membantu tetangganya untuk memasarkan tas-tas etnic dari tiga bulan yang lalu. Disebut tas etnic karena dalam 1 model tas, hanya tersedia 3 itam saja sehingga tas tersebut menjadi tas unik yang tidak dijual dalam jumlah banyak. Dari setiap tas yang dijual, Uwik mengambil keuntungannya sendiri dan ditambah dengan biaya kirim (ongkir) jika si pembeli menginginkan barang yang ia pesan langsung diantar ke rumah. ”Strategi pemasaran yang dipakai adalah menggunakan media online Facebook, melaui media tersebut aku mendapat banyak pelanggan dari dalam kota maupun luar kota, jelas mahasiswa UPN jurusan komunikasi. Kendala yang dihadapi adalah ketika calon pembeli berasal dari luar kota, maka ongkir dapat menjadi lebih mahal dari harga tas sehingga transaksi sering batal karena hal tersebut. Namun Uwik mempunyai solusi jitu, yaitu menanyakan kepada pembeli apakah ia mempunyai kerabat di Jogja atau tidak. Jika si pembeli mempunyai kerabat di Jogja maka tas yang dibeli dapat diantar kesana.
Sebenarnya keinginan utama Uwik adalah berlibur di Bandung-Jakarta dengan menggunakan uangnya sendiri, keinginan tersebut akan segera terlaksana pada liburan pergantian semester besok. Hingga sekarang sudah terjual 80 item tas dengan model 50 jenis tas yang dipasarkan oleh Uwik. Cita-cita yang diinginkan Uwik adalah menjadi desainer tas. Oleh karena itu dalam usaha penjualan ini, menurut Uwik sebagai bentuk pembelajaran yang selain dapat menghasilkan keuntungan juga dapat mengenal berbagai jenis, bahan tas, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tas.
Selain mendapatkan keuntungan, kegiatan berwirausaha di kalangan mahasiswa juga merupakan sebuah pengalaman. Bertemu dengan banyak orang membuat terjalinnya relasi bisnis antara penjual dan pembeli. Itulah ide utama yang diungkapkan oleh Hanun (21), seorang mahasiswa konsentrasi jurnalistik, yang membuka usaha pakaian. Semenjak kecil, ia sudah terbiasa membantu ibunya yang berjualan pakaian di Pasar Condong Catur. Hanun mulai membantu memasarkan pakaian kepada teman-temannya ketika semester 2 di bangku kuliah. Ia mulai menawarkan kepada teman-temannya dengan membawa beberapa sampel pakaian yang sedang trend. Hal tersebut mendapat respon yang bagus sehingga hingga sekarang ia masih berusaha menjualkan pakaian yang ia ambil dari ibunya. Strategi pemasaran yang dipakai hanun lebih ke penjualan langsung atau face to face, hingga mulut ke mulut membuat Hanun tidak perlu lagi mempromosikannya secara langsung karena teman-teman akan mencarinya jika menginginkan baju yang di cari.
Keuntungan yang didapatkan Hanun berasal dari 10 % dari harga tiap baju yang ia jual. Ibunya pun juga memberikan jatah kepada Hanun untuk mengambil baju yang ia inginkan setiap satu bulan sekali sebagai upah karena telah membantu pemasarannya. Hanun yang juga bekerja sambilan sebagai MC di Taman Kuliner ini mengungkapkan bahwa keuntungan yang ia dapat dari penjualan baju digunakan untuk menambah uang saku dan seringkali ia gunakan untuk membeli perlengkapan yang menunjang pekerjaannya sebagai MC. ”sering banget aku liat banyak temen-temen yang mebeli baju di butik atau distro dengan harga yang mahal, padahal bahannya sama dengan baju yang aku jual”, jelas Hanun. Jadi Hanun merasa iba melihat teman-temannya membeli baju dengan harga mahal, sehingga ia menawarkan pakaian dengan harga murah agar teman-temannya dapat berhemat. ”Ya lebih baik untung dikit tapi barang yang dijual banyak, kan jadinya banyak juga”, ujar perempuan yang bercita-cita mendirikan toko pakaian seperti OB dengan harga terjangkau ini.
Pemilihan jenis usaha yang diinginkan memang juga dipengaruhi bakat atau keahlian seseorang. Seperti yang dialami oleh Ardan (21), lebih memilih membuka usaha foto Pre Wedding, dan dokumentasi suatu acara. Setelah menjadi juara II dalam lomba Rally Foto Hisfa 2009, ia merasa percaya diri untuk membuka usaha tersebut yang juga terinspirasi dari temannya. Tarif yang ia sediakan pun bermacam-macam, untuk tarif pre wedding Ekonomi berkisar dari 500-700 ribu rupiah, Silver berkisar 1 – 1,5 juta rupiah, sedangkan tarif Gold 2 juta keatas. Semuanya tergantung permintaan pelanggan, dan yang membedakannya adalah jumlah foto, lokasi pemotretan, dan kostum yang dikenakan.
Menjadi seorang fotografer Pre Wedding memang bukan cita-cita utama Ardan, tetapi hal tersebut sangat menunjang bagi karir Ardan yang bercita-cita menjadi fotografer profesional. ”selain tambah uang jajan, hobby ku juga tersalur, dan usaha ini mengasah keahlian agar menjadi terampil yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain”, jelas laki-laki yang memakai kacamata ini. Untuk masalah make up dan kostum, Ardan bekerja sama dengan teman-temannya, tetapi jika ia mendapat priyek yang besar dan membutuhkan lebih dari 1 fotografer maka ia dan teman-teman fotografernya siap bekerja sama. Dari usaha tersebut Ardan mendapatkan banyak pengalaman mulai dari lokasi, pakaian, stategi harga dan pemasaran, sehingga kealhian dan ilmu menjadi bertambah untuk proses pembelajaran dalam meraih cita-citanya.
Desy Natalianingrum (153070252)