11 Januari 2010

Kost-kostan Juga digunakan Sebagai Ajang Free Sex

Kos-kosan salah satu tempat tinggal alternatif bagi mahasiswa yang tidak memiliki kerabat di Jogja. Bukan berarti kos-kosan tempat yang bebas untuk melakukan sesuatu hal yang negatif. Tapi realitanya saat ini ditemui kos-kosan yang dipakai justru bukan hanya sebagai tempat tinggal saja melainkan digunakan sebagai ajang Free Sex.

Semakin banyaknya mahasiswa yang berdatangan di Jogja ini membuat bisnis kos-kosan meningkat, hal ini karena kota Jogja merupakan kota Pelajar yang memiliki perguruan tinggi negeri yang baik maupun perguruan tinggi swasta yang ternama. Tak heran bila banyak mahasiswa yang berasal dari luar kota rela datang jauh-jauh untuk ke Jogja untuk menimba ilmu. Saat itu yang terlintas dalam benak mereka adalah bagaimana mencari tempat tinggal sementara. Banyaknya pilihan tempat tinggal di Jogja membuat mahasiswa bingung untuk memilih. Kebanyakan tempat tinggal sementara itu berupa kontrakan, asrama, kost-kostan, mess dan wisma mewah yang seharusnya untuk para pekerja. Dari banyaknya pilihan sebagian besar mahasiswa memilih kost sebagai tempat tinggal sementara mereka.

Ada hal yang menarik yang bisa ditangkap dari fenomena kost-kostan, yaitu semakin bebasnya peratutan kost-kostan semakin dicari-cari mahasiswa saat ini. Tidak dipungkiri lagi pasti alasannya ingin melakukan sesuatu yang leluasa tanpa harus mematuhi tata tertib yang terlalu mengekang. Menurut pendapat Ibu Endang selaku Ibu kos putra di daerah Tambakbayan 4 nomor 8 mengatakan cenderung mahasiswa yang ingin mencari kos lebih mengutamakan kata “kebebasan” dibandingkan dengan kata kenyamanan. “Ya, mereka itu rata-rata menanyakan kost-kostannya bebas gak buk?? Terang saja saya menjawab tidak” ujar wanita 40 tahun ini . Terbukti saat ini kost-kostan yang bebas justru lebih diminati mahasiswa dari pada kost-kostan yang peraturannya ketat. Menurut ferdi salah satu penghuni kost yang bebas mengatakan kost yang bebas lebih menguntungkan ketimbang ada peraturan.

Berbeda lagi dengan perspektif Pak Budi selaku pemilik kos putra di Jalan Seturan menurutnya kos-kosan yang bebas justru menguntungkan. “Saya sengaja tidak memberikan peraturan yang ketat, namanya juga kost-kostan cowok masak mau di kekang ya asal bayarannya tidak telat aja saya gak marah” tuturnya. Dari perbedaan perspektif sudah terlihat adanya perbedaan antara Pak Budi dengan Ibu Endang. Tetapi intinya saat ini kost yang bebas tetap menjadi sasaran utama dalam pencarian tempat tinggal sementara.

Semakin bebasnya kost-kostan di Jogja semakin pula banyak diminati mahasiswa. Ini di karenakan anak kos lebih suka tidak terikat dengan peraturan. Dengan bebasnya kost-kostan ini memungkinkan juga para penghuninya untuk melakukan sex bebas.

Setiawan Yogie Harsono
153070183

Solidaritas Sesama Penghuni Kost


Layaknya anak perantauan yang sedang menimba ilmu di kota lain, dan juga dikarenakan tidak ada sanak saudara, maka pilihan hidup untuk kost seperti harus dilakukan untuk tempat tinggal sementara. Penghuni kost berasal dari berbagai macam orang dari beberapa daerah dan suku di Indonesia. Tidak semuanya kuliah di tempat yang sama, walaupun mayoritas adalah mahasiswa atau mahasiswi yang berkuliah di Jogjakarta.

Mahasiswa yang ingin belajar ke Perguruan Tinggi di Jogjakarta bukan hanya berasal dari daerah Jawa dan sekitarnya. Mahasiswa yang belajar disini berasal dari sabang hingga ke merauke. Hal ini membuat mahasiswa jauh dari orang tua, maka para mahasiswa yang ngekost membutuhan teman kost untuk bersosialisasi.

Para penguhi mendekatkan diri kepada teman sebelah kamar kostnya agar tidak merasa hidup sebatang kara di perantauan. Solidaritas anak kost biasanya lebih tinggi dari pada para penghuni perumahan real estate. Ini dikarenakan mereka hidup dari rumah dan jauh dari orang tua.

Salah satu penghuni kost putra di daerah seturan, sebut saja namanya dito. Ia kuliah di Atma Jaya jurusan teknik industri mengatakan bahwa anak kost harus mempunyai rasa solidaritas yang tinggi agar dapat menciptakan keharmonisan di lingkungan kost ia tinggal. Bahkan Ia mengatakan “satu atap satu keluarga”. Maksud dari perkataan tersebut ialah agar para kost anak harus mengertia ia tinggal dengan orang lain tapi harus dianggap sebagai salah satu keluarga.

Setiawan Yogie Harsono
153070183

Hari ini makan, Besok Belum Tentu Makan

Kalimat di atas sempat terlontar dari salah satu anak jalanan yang ada di Kota Yogyakarta. Sarmin adalah anak jalanan yang kegiatannya mengamen di lampu merah demi mendapatkan uang untuk membeli sesuap nasi. “Hari ini makan, besok belum tentu makan” terlontar dari mulutu bocah berusian 8 tahun dengan wajah pesrah dan penuh harapan. Namun sesungguhnya ia salah satu dari anak jalanan yang memiliki cita-cita untuk meneruskan pendidikannya.

Sungguh ironis di kota pelajar ini bayangan kita adalah Kota Jogja yang di padati dengan para pelajar, memang semua itu kenyataannya. Namun tidak dipungkiri masih ada segelintir orang tidak dapat merasakan hal itu. Salah satunya Sarmin, sejak ditinggal ayahnya Ibu bocah ini tidak dapat membiayai sekolah sarmin. Bahkan untuk membiayai kehidupan sehari-harinya masih sangat minim. Ibu Sarmin juga bekerja sebagai pengamen jalanan tak heran untuk mendapatkan sesuap nasi mereka mengandalkan kecrekan tutup botol.

Sejak usia Sarmin 4 tahun ia sudah ditinggal oleh Ayahnya karena sakit-sakitan. Sarmin dan Ibunya tinggal di kontrakan sempit tepatnya di desa Karangwaru Jalan Magelang Yogyakarta. Sarmin mengenal kehidupan jalanan saat usia 4 tahun, Ia selalu menemani Ibunya agar pengahasilannya lebih banyak.

Pekerjaan ini terpaksa ia lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup kedua orang tersebut. Ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup kecuali dengan cara mengamen. Menurut sarmin “lebih baik jadi pengamen yang menjual suara dari pada hanya meminta belas kasihan orang lain dan apalagi menjadi seorang pencuri atau maling.”

Kerja keras yang dilakukan oleh seorang anak umur 8 tahun ini perlu masyarakat apresiasi. Masyarakat bukan hanya mencela hidup seorang anak jalanan. Mereka terpaksa melakukan perkerjaan tersebut karena tuntutan untuk hidup. Bahkan pemerintah juga harus memelihara anak jalanan.

Fenti Diana
153070177


Sisi Lain Seorang Anak Jalanan

Sarmin mulai mengamen pada pagi hari jam 10 pagi hingga jam 5 sore hari. Ia mengamen paling sedikit 7 jam. Penghasilan ia mengamen hanya mendapatkan sepuluh ribu saja. Dan bila beruntung ia mendaptkan tiga puluh lima ribu rupiah. Namun untuk menuju angka tiga puluh lima ribu sangatlah sulit, semua itu terjadi karena faktor keberuntungan. Uang yang di dapat sehari ia mengamen semua diberikan Ibunya, karena Sarmin sadar uang dari hasil mengamenlah yang dapat mencukupi kehidupannya. “Kasihan sama ibu kalo aku gak bantuin ngamen” kalimat itu terucap dari bocah 8 tahun.

Lagu yang dibawakan Sarmin saat mengamen biasanya lagu-lagu orang dewasa. Sarmin memeliki lagu favorit saat mengamen yaitu Cari Pacar Lagi yang dibawakan oleh St12. Ia senang lagu tersebut karena Sarmin ngefans dengan Charli St12, dan ia berharap ingin bertemu dengan idolanya. Hal yang sangat disenangi dari bocah tahun ini saat ada orang-orang yang membagi-bagikan makanan. Karena menurutnya ia tidak perlu membeli makanan lagi.

Sedangkan hal yang paling dibenci menurutnya bila ada “Razia Gepeng” razia gelandangan dan pengamen. “Habis kalo ada Razia Gepeng nanti pasti ikut dinaekkan ke mobil, aku takut kalo diangkut” kata Sarmin. Dengan muka polosya bocah ini berbicara. Dan ada lagi yang dibencinya bila ia tidak dikasih uang saat mengamen. Bocah ini mengatakan tidak takut saat mengamen dijalan yang penuh lalu lalang kendaraaan karena baginya jalan yang penuh lalu lalang dengan kendaraan adalah sumber penghasilannya.

Di lampu merah perempatan jalan Magelang ini adalah sumber mata pencahariannya. Saat mengamen Sarmin masih dapat bermain dengan teman-temannya namun permainan yang dilakukannya tetap saja di jalan tidak seperti anak-anak beruntung yang lain. Sesungguhnya Sarmin ingin bersekolah melanjutkan Sekolah Dasanya yang ia tinggalkan satu tahun yang lalu saat ia berusia 7 tahun. Namun karena faktor ekonomi ia rela tidak bersekolah hingga memilih membantu orang tuanya dengan bekerja sebagai pengamen.

Berbeda lagi dengan apa yang dikatakan Sri Wahyuni, salah satu pengendara sepeda motor yang saat itu melintas di tempat biasa Sarmin mengamen. Menurutnya ia malas memberikan uang receh pada pengamen, karena dianggap mereka hanya malas dan berpura-pura saja. “Keenakan orang tuanya kalau kita ngasih, kenapa sebagai orang tua tidak menjaga tapi malah sudah disuruh bekerja” kata Sri saat dimintai pendapat. Menurutnya tidak masalah bila sesekali ia memberi tetapi lama kelamaan ia bosan. Memang kadangkala ada rasa iba bila melihat bocah yang tidak sepatutnya bekerja namun sudah bekerja.

Adalagi perspektif dari Pak Sugi selalu polantas yang berjaga di perempatan lampu merah jalan Magelang, menurutnya wajar mereka semua mencari pekerjaan dengan mengamen atau meminta-minta kaena memang tidak ada lagi yang dapt mereka kerjakan selain mengamen. Rasa iba sering membuat Pak Sugi kadangkala memberikan sebungkus nasi untuk Sarmin, karena selain kenal dengan Sarmin Pak sugi sering mengobrol dengannya. “Saya sok kasihan lihat Sarmin, dia paling keci yang ngamen ditempat ini, lagian bapaknya juga sudah tidak ada” ujar Pak Sugi saat dimintai keterangan mengenai anak jalanan. Sebenarnya kota Jogja sudah menteribkan anak jalanan namun masih sulit bila harus mengrus begitu banyak anak-anak jalanan yang ada di kota Jogja.

Sungguh memprihatinkan keadaan kita, di jaman ini masih ada segelintir anak-anak yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan namun masih ada yang buta akan artinya pendidikan. Itu semua karena terbengkalainya masalah ekonomi yang dihadapi oleh kaum menengah kebawah. Bahkan yang lebih memperhatikan untuk mencari sesuap nasi perlu adanya tujuh jam bekerja sebagai pengamen, bahkan menunggu bila ada keberuntungan dari orang-orang yang akan membagikan sebungkus nasi. “Yah hari ini makan, besok belum tenti makan” ujar Sarmin si bocah cilik berusia 8 tahun yang kesehaari-hariannya menunggu lampu merah untuk bernyanyi dengan kecrekan andalannya.
 
Fenti Diana
153070177

GAUL BEBAS DI KOST


Pergaulan bebas belakangan ini sedang marak di kalangan remaja, tetapi siapa sangka jika hal tersebut dilakukan di kost-kostan, pelakunya pun masih berstatus mahasiswa. “Kost tu tempat yang murah, nyaman, dan menyenangkan untuk bergaul dan bergumul dengan pacar..”ujar Aji, seorang mahasiswa yang mengaku sebagai pecinta wanita.



Sebuah kebebasan, yang biasa menjadi tujuan seorang pelajar atau mahasiswa jika memilih untuk hidup mandiri dengan ngekost. Atau berawal dari pendidikan yang harus ditempuh di tempat yang jauh dari rumah. Tidak terlalu banyak mahasiswa yang benar-benar bisa memanfaatkan kebebasan tersebut dengan hasil atau prestasi belajar yang memuaskan. Seperti yang diungkapkan Rafiq, mahasiswa angkatan 2004 yang hingga kini belum menyelesaikan program serjananya, “Kemarin sibuk main, jadi sekarang ngerjain skripsi kaya kebakaran jenggot. Mesti buru-buru”. Tak jauh dengan pengalaman tersebut, Maharani juga harus lulus dari program sarjana dengan waktu kurang lebih 7 tahun. Mahasiswi tomboy lulusan Institut seni Indonesia jurusan perkusi ini, sibuk dengan berbagai kegiatan diluar kampus dan pergaulan membawanya untuk selalu menunda kelulusannya.


Kost menyediakan berbagai fasilitas yang menggiurkan, salah satunya privasi seutuhnya, yang mungkin tidak diperoleh sebelumnya. Penggunaanya pun variatif, dari hal baik hingga yang berbau dengan negatif. Salah satu yang beranggapan bahwa kebebasan hanya dapat diperoleh diluar rumah adalah Edi, “Mana aku bisa bawa pacarku nginep kalo masih tinggal sama ortu”. Jika di kost ia bisa melakukan apa saja, tanpa harus ditegur atau dilarang oleh orang tua, termasuk membawa wanita untuk menginap. Ketika ditanya tentang wanita yang selalu dibawanya, ia menjawab “Bukan pacar asli sih, pacar untuk semalem aja”. Ia mendapatkan wanita tersebut hanya dari perkenalan di sebuah klub atau ditempat nongkrong yang kemudian berujung di kamar kost. Menurut Edi, saat muda harus dipergunakan untuk mencapai kesenangan yang mungkin tidak didapatkannya ketika ia menikah dan berkeluarga nanti.


Edi bukan satu-satunya mahasiswa yang berpendapat demikian. Sebut saja Aji, ia juga melakukan hal yang sama. Menurutnya kost adalah tempat yang paling nyaman untuk melakukan apa saja, karena selain privasi terjaga ia juga terlepas dari larangan-larangan yang selama ini membatasinya. Baginya bisa berhubungan intim dengan banyak wanita adalah sebuah kebanggaan, “Nggak semua laki-laki bisa ngelakuin itu loh” jelasnya. Dan semua hal itu ia lakukan di kost, ia mengaku tidak takut dengan ibu kos karena sejak ia masuk ke kos tersbeut tidak aturan yang melarang membawa tamu menginap, baik pria ataupun wanita.


Aji juga menjelaskan bahwa wanita yang diajaknya menginap tidak pernah sama karena ia mudah merasa bosan dengan seorang wanita. Ia mendapatkan wanita dengan berkenalan di club atau lewat jejaring sosial internet seperti facebook atau chatting. Bahkan beberapa kali ia juga mendapatkan wanita dengan ‘membeli’, “Kalau pas nggak dapet cewek, biasanya aku beli ayam kampus gitu. Lagian mereka lebih aman walaupun mahal” ujarnya. Sejauh ini ia masih merasa aman, dan tidak ada kendala karena ia melakukan hal tersebut dengan menggunakan pengaman.


Nada yang sama dikemukakan oleh Maharani, ia beranggapan bahwa sesorang jika ingin gaul secara total harus berada dalam lingkungan yang bebas dari aturan. Setidaknya aturan wajib, seperti aturan orangtua. “Sejak ngekos, aku lebih bebas melakukan apa saja” ujarnya, ia juga mengenal pergaulan bebas yang membuatnya sekarang menjadi seorang lesbian. Sebenarnya ia telah merasa keanehan dalam dirinya yakni menyukai sesama wanita sejak lama. Namun hal tersebut tidak tertindak lanjuti karena pengawasan orangtua yang begitu mengikatnya. Setelah ia hidup sendiri di kos, ia mulai mengenal dunia lesbian lebih dalam. Apalagi teman satu kost juga ada yang berorientasi seksual sama.


Pergaulan bebas menjadikan banyak orang terjerumus, tetapi semua itu pilihan. Seperti pendapat Andra tentang pergaulan bebas yang terjadi saat ini, “Keinginan untuk menjadi baik atau tidak, semua tergantung pribadi masing-masing” .


Pewawancara dan penulis : Dewi Kurniawati - 153080192







DIBALIK TIRAI KOST-KOSTAN


FENOMENA KOST-KOSTAN
Kost bisa memiliki banyak fungsi, dari tempat beristirahat, tempat belajar hingga tempat bercumbu. Ada mahasiswa membuat kost sebagai tempat istirahat sekaligus kantor, tempat ia bekerja. Tetapi tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan kost sebagai tempat melampiaskan nafsu sesaat.


Kost atau rumah sementara sudah menjamur hampir di seluruh wilayah di pulau Jawa. Kost menjadi pilihan tempat sementara bagi mereka yang merantau untuk bekerja, menimba ilmu atau bagi orang yang hanya sekedar ingin memiliki privasi. Sebagai salah satu kota yang dituju wisatawan, dan kota yang menjadi tujuan bagi para pelajar, Yogyakarta tentunya menjadi salah satu kota dengan jumlah kost-kostan yang cukup banyak. Di balik tempat yang mayoritas dihuni mahasiswa tersebut terdapat berbagai macam kejadian. Dari ukiran prestasi hingga peristiwa portitusi, namun tempat itu hanya menjadi saksi bisu atas semua yang telah mereka lakukan.

“Di kost saya ini, laki-laki tidak boleh masuk. Cuma sampai teras aja” ujar Maryati, pemilik salah satu kost putri di Babarsari. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk antisipasi adanya pergaulan bebas yang sedang marak sekarang ini. “Walau cewek tetap saja saya tidak percaya, wong cewek-cewek zaman sekarang banyak yang ‘berani’ alias nggak bener” tambahnya. Bu maryati seakan ingin menegaskan bahwa yang terjadi pada pergaulan remaja di Jogja saat ini tak lagi dapat disepelekan. Tidak sedikit mahasiswi yang terjerumus dalam pergaulan bebas hanya karena putus cinta atau karena bermasalah dengan keuangan. Sebut saja Melati, siswi ini salah satu perguruan swasta di Jogja ini telah beberapa kali menggugurkan kandungan karena pergaulan bebas. “Saya kan nggak mungkin jujur sama orang tua mba, bisa-bisa saya diusir dan nggak diakui anak lagi sama mereka” ujarnya. Hal tersebut bisa terjadi karena kost yang hingga sekarang masih ia tinggali merupakan kost bebas, sehingga pacarnya setiap waktu bisa tidur dan menginap bersamanya.

Ada pula mahasiswa yang benar-benar memanfaatkan kost sebagai tempat untuk belajar atau berlatih. Seperti yang dikerjakan oleh Alex, mahasiswa rantauan asal Palembang, ia membuat tempat istirahatnya tersebut sekaligus menjadi kantor baginya. Karena di tempat itu pula ia biasa mengerjakan design clothing, pesanan dari para pelanggannya. Hal serupa juga dilakukan oleh I Putu Yudi Cahyana, ia biasa menghabiskan waktu dikost untuk berlatih drum. Hal tersebut dilakukannya karena ia masih tercatat sebagai mahasiswa Univeritas Negeri Yogyakarta jurusan seni musik, “Aku biasa latian di kost, soalnya kalo dikampus alatnya terbatas” jelasnya. Kost tempat ia tinggal tergolong kost bebas, karena teman atau siapapun yang berkunjung tidak dibatasi ruang atau waktunya. Namun hal tersebut tak menjadikannya sebagai mahasiswa yang liar, “Sebenernya bisa-bisa aja aku bawa pacar kesini, nginep juga bisa tapi resiko kan aku juga yang tanggung, jadi main aman aja deh” ujar Yudi ketika ditanya seputar kebebasan di kostnya.

Bagi bu Maryati, aturan dan batasan-batasan yang diberlakukan di sebuah kost-kostan wajib dilakukan. Selain memberikan rasa aman bagi penghuninya juga membuat tenang pemilik kost. Banyak kejadian yang membuat trauma bagi beberapa pemilik kost, pak Y (nama samaran) salah satunya “Dulu pernah ada yang ketangkep bawa narkoba, alhasil kost saya jadi sepi karena anak-anak yang ngekost pada keluar, katanya pada takut kalo kesangkut. Saya kan jadi rugi”. Bukan hanya itu saja, ia juga pernah dituntut orang tua dari mahasiswi yang ngekost ditempatnya, karena anak tersebut hamil. Pak Y cukup kapok dengan kejadian-kejadian tersebut, sehingga kini ia terapkan aturan baru. Salah satunya adalah tamu yang menginap wajib lapor pemilik kost.

Namun demikian kost bebas tetap menjadi primadona para mahasiswa/i, “kalau saya lebih memilih kost bebas seperti kost saya sekarang ini, soalnya selain kuliah saya nyambi kerja jadi penyanyi cafe, jadi sering pulang malem” ujar Dian. Seakan mendukung pernyataan Dian, X juga berpendapat sama, lebih memilih kost bebas daripada kost terbatas. Tetapi X memiliki alasan lain mengapa ia memilih kost yang bebas, “kalo kostnya ngga bebas, gimana aku ma servis pelanggan-pelangganku” karena selain kuliah, ia juga bekerja memiliki profesi lain, yaitu sebagai “ayam kampus”.

Kost bebas sering kali juga meresahkan masyarakat sekitar, seperti yang dituturkan bu Ida, salah satu warga yang berada di sekitar kampus Institut Seni Indonesia. “Disini banyak kost yang bebas mba, dari pada yang ngga” ujarnya, Ketika ditanya mengenai gangguan yang terjadi, ia mengatakan sebenarnya cukup membuat risih dengan adanya kost-kost bebas tersebut, bisa membawa dampak buruk bagi anak-anak khusunya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena kalah dari mayoritas. Pendapat berbeda diungkapkan bu Watik yang juga warga daerah tersebut, baginya kost bebas justru berkah tersendiri bagi usaha warung makan 24 jam miliknya, “Kalo semua kost disini ngga bebas, yang ngalirisi (membeli makanan) warung saya ngga ada mba. Soalnya lebih banyak yang dateng malem daripada siang” ujarnya.

Kost yang notabene sebagai tempat istirahat, dapat menjadi tempat apa saja. Tidak selalu identik dengan yang negatif karena perbuatan melanggar norma dapat dilakukan dimana saja, di kost beraturan sekalipun. Menurut silvi, kost memang tidak seharusnya menjadi tempat untuk berbuat hal negatif karena jika asumsi itu berkembang menjadi opini publik, maka banyak pihak akan dirugikan termasuk mahasiswa penghuni kost lain. Dalam hal ini semua pihak harus pintar dalam menyikapinya.

*Identitas Pak Y dan X dirahasiakan sesuai keinginan nara sumber

Pewawancara : Dewi Kurniawati - 153080192

Penulis : Dewi Kurniawati - 153080192


Jatuh Bangun Pengusaha Laundry, Deddy Iskandar

Queen Laundry, itulah usaha laundry milik Deddy Iskandar. Pria yang akrab disapa Deddy ini adalah salah satu dari sekian banyak perantau yang berasal dari Pagatan, Kalimantan Selatan. Jauh merantau Deddy berniat untuk menimba ilmu di Yogyakarta. Pria yang masih berstatus mahasiswa di Universitas Ahmad Dahlan ini telah tiga tahun menggeluti usaha laundry. Berawal dari keborosannya me - laundrykan pakaiannya, Deddy berinisiatif untuk membuka usaha cuci - mencuci ini. Hasil dari menjual mobil pribadinya, Deddy mulai merintis usaha laundry. Ia menyewa ruang usaha di perempatan Rejowinangun. Awalnya beberapa teman sempat meragukannya, karena di kawasan tersebut jauh dari institusi pendidikan. Namun Deddy tetap pada keyakinannya. Ia pun menetapkan pasar sasarannya pada rumah tangga. Tanpa diduga, ternyata respons yang didapat sangat positif. Usaha laundry Deddy ramai mendapat " job". Bahkan pernah dalam sehari Queen Laundry mendapat 300 kg cucian per hari. Bahkan Deddy dalam sebulan Deddy bisa mendapat keuntungan bersih mencapai Rp 15.000.000,00 dari usaha laundrynya ini. Seiring berjalan waktu, rival - rival pun mulai berdatangan. Awalnya omset sempat menurun karena kehadiran laundry - laundry baru di sekitar tempat usahanya. Namun itu tak membuat Deddy gentar. Ia menciptakan terobosan baru. Setiap pencucian minimal 5kg, customer mendapat 1 kupon yang bila dikalikan 10 customer mendapat gratis layanan satu kali cuci. Strategi ini cukup ampuh. Pernah rival laundry lainnya menyerang dengan banting harga, awalnya memang cukup berpengaruh bagi usaha Deddy. Namun lagi - lagi ia menciptakan terobosan baru. Dengan bekerja sama dengan Arya Persada Group, Queen Laundry memberikan kupon undian pada setiap customernya berhadiah handphone. Karuan saja hal tersebut kembali menaikkan jumlah customernya. Selain selalu menciptakan inovasi baru, Queen Laundry selalu mengutamakan kualitas pelayanan. Mungkin harga sedikit mahal ketimbang harga yang dipasang rival laundry di sekitarnya, namun kualitas tetap nomer satu.
Queen laundry juga memberikan layanan antar jemput bagi customernya dengan minimal 5 kg cucian. Sehingga customer yang tak sempat mengantar atau mengambil laundry nya dapat menggunakan layanan ini. Tinggal konfirmasi saja pada pihak Queen.
Sampai saat ini Queen Laundry mengalami perkembangan yang cukup pesat. Berkat hasil kerja keras serta kegigihannya Deddy sudah mempunyai 5 agen Queen laundry, yang berlokasi di Papringan, Timoho, Baciro ( dua tempat ), dan Jalan Wonosari. Kelima Agen ini memiliki pusat layanan di Outlet Queen Laundry yang berlokasi di perempatan Rejowinangun.

Nama: Hanun Wuryansari
NIM : 153070255

Fenomena Merebaknya Bisnis Laundry

Yogyakarta memang tak pernah ada matinya. Kota yang sarat akan kebudayaan khas keraton ini memiliki pesona yang tak henti menimbulkan daya tarik tersendiri. Lihat saja Merapi, Parangtritis, Prambanan, Keraton, Malioboro, Alun - alun, seperti tak pernah kehabisan daya pikat hingga menyedot para wisatawan asing maupun lokal untuk datang berkunjung. Selain terkenal karena kebudayaannya, Yogyakarta juga memiliki julukan sebagai " Kota Pelajar ". Banyak perantau berdatangan dari berbagai daerah untuk menimba ilmu di kota ini. Tak ayal lagi Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang padat akan penduduk yang sebagian besar adalah pendatang. Dari sekian banyak pertambahan penduduk inilah maka muncul kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya.
Begitu banyaknya lembaga pendidikan di Yogyakarta secara tak langsung telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Sebut saja tempat kost, counter pulsa, rental film, salon, dan yang paling sering ditemui dan cukup menjadi fenomena adalah laundry. Belakangan jenis usaha cuci - mencuci ini merebak di lingkungan masyarakat. Ruang usaha yang bergerak di bidang jasa ini menawarkan kemudahan bagi customernya dalam urusan mencuci. Customer dapat mencucikan baju mereka plus setrika dan parfum dengan harga yang hemat. Tiap - tiap laundry memasang tarif yang berbeda - beda. Mulai dari Rp 2000,00/kg, sampai Rp 3500,00/kg.
Ditemui siang itu di tempat usaha laundrynya July Setiawan, mengemukakan bahwa ia belum lama membuka usaha laundry, tapi keuntungan yang didapat sudah cukup memuaskan ". Laundry saya cukup ramai, untungnya lumayan tiap bulan". Lelaki berusia 29 tahun ini awalnya sempat bingung mau bekerja sebagai apa, karena melihat kawannya yang sukses dengan usaha laundry, akhirnya dia ikut membuka jenis usaha yang sama. Hasilnya ternyata diluar dugaan.Laundry milik July ( Star Laundry ) berlokasi di kawasan Sorosutan.
Lain lagi dengan Aripal Sani yang juga pengusaha laundry, ia mengaku mendapatkan modal usaha dari orangtuanya. Pemuda 24 tahun ini mengungkapkan, " Saya sudah dapat untung banyak dari sini ". Pria yang sering disapa Ari ini sudah dua tahun menjalani usaha laundry ini. Sasaran pasarnya adalah mahasiswa. Karena laundry Ari berada dekat dengan kawasan kampus UTY dan UAD. Harga yang ia tawarkan untuk laundry cuci komplit adalah Rp 2600,00/kg.
Deddy Iskandar juga merupakan salah satu pengusaha laundry. Mengusung nama Queen Laundry, ia merintis usahanya sejak bulan Juli tahun 2007. Ketika ditanya mengenai apa motifasinya membuka usaha laundry, Deddy mengemukakan," Dulu saya boros sekali me - laundry pakaian saya, sekian lama saya berpikir kenapa tidak buka usaha laundry sekalian saja". Dan ternyata usaha yang bermula dari konsep sederhana itu mampu meraup keuntungan yang luar biasa. Pernah suatu kali Queen Laundry menerima 300 kg cucian per hari. Queen Laundry mematok harga 2500/kg. Seiring munculnya rival - rival baru di sekitarnya, Deddy memberikan terobosan baru dalam usahanya. Setiap pencucian minimal 5 kg, customer mendapat kupon yang bila sudah genap 10 kali, customer mendapatkan gratis layanan satu kali cuci. Karena lokasi usaha yang berjauhan dengan institusi pendidikan, pasar sasaran yang ditetapkan Deddy adalah rumah tangga.

Nama: Hanun Wuryansari
NIM : 153070255

UANG SAKU BERTAMBAH, ILMU PUN DI DAPAT

Berwirausaha tidak hanya dapat dilakukan oleh kalangan orangtua saja tetapi dapat juga dilakukan oleh mahasiswa. Tidak juga dapat dilakukan oleh mahasiswa yang menempuh pendidikan jurusan bisnis atau yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi dalat juga dilakukan oleh semua kalangan mahasiswa yang berjurusan apa saja. Mendapatkan keuntungan bukan merupakan prioritas utama, selain itu pembelajaran dalam bekerja sangat bermanfaat dengan cara berwirausaha sambil berkuliah.

Kintan (20), seorang mahasiswa konsentrasi public relation, juga dapat mebuka usaha pernak-pernik anak kecil dan wanita. Barang yang disediakan adalah kalung, penjepit rambut, dan pin dengan harga berkisar dari 1500 hingga 5000 rupiah. Berawal dari ketidaksengajaan, Kintan dan bersama kedua teman SMA, Wati dan Yayuk, suatu ketika sedang berjalan-jalan di Pasar Beringharjo menemukan sebuah toko pernak-pernik yang menjual berbagai barang jadi dan belum jadi, hal ini membuat Kintan mencetuskan sebuah ide untuk memproduksi pernak-pernik dan menjualnya bersama-sama. Ide tersebut disetujui oleh Wati dan Yayuk sehingga mereka memulai produksi dengan modal yang minim yaitu Rp 30.000,-.
Dalam bidang produksi dipercayakan kepada Yayuk, yang terkenal kreatif dan pintar menjahit, sedangkan Kintan dan Wati bertugas memasarkan barang produksi. strategi pemasaran yang mereka gunakan adalah menghampiri calon pelanggan dan menawarkan barang yang dijual. Mereka tidak suka menunggu calon pembeli datang menghampiri, tetapi lebih senang jika mereka yang menghampiri calon pembeli. Kepuasan yang mereka dapatkan adalah ketika seorang pembeli menggunakan produk yang mereka jual, hal tersebut sangat membuat senang tiga sahabat ini. Walaupun diakui bahwa keuntungan yang mereka dapat tidak terlalu banyak, tetapi setidaknya mereka dapat membeli kebutuhan tambahan dengan hasil tersebut. ”Tambah-tambah uang jajanlah”, lanjut Kintan.
Hal tersebut dikarenakan segmen penjualan mereka adalah anak-anak hingga mahasiswa yang dikhususkan kepada perempuan saja maka keuntungan yang diambil juga disesuaikan dengan segmen penjualan. Mereka bertiga menyadari bahwa pernak-pernik bukan merupakan kebutuhan primer seseorang sehingga kemunculan barang tersebut disebut dengan musiman atau layaknya seperti trend yang sedang berkembang. ”Ya kalau laku sih ya syukur, kalau ngak ya udah, gak papa”, ungkap Kintan. Walaupun sudah tidak gencar lagi dalam berjualan seperti 1 tahun yang lalu –awal mulai membuka usaha- namun mereka siap untuk menerima pesanan.
Lain hal dengan Kintan, Uwik (18) memilih membantu tetangganya untuk memasarkan tas-tas etnic dari tiga bulan yang lalu. Disebut tas etnic karena dalam 1 model tas, hanya tersedia 3 itam saja sehingga tas tersebut menjadi tas unik yang tidak dijual dalam jumlah banyak. Dari setiap tas yang dijual, Uwik mengambil keuntungannya sendiri dan ditambah dengan biaya kirim (ongkir) jika si pembeli menginginkan barang yang ia pesan langsung diantar ke rumah. ”Strategi pemasaran yang dipakai adalah menggunakan media online Facebook, melaui media tersebut aku mendapat banyak pelanggan dari dalam kota maupun luar kota, jelas mahasiswa UPN jurusan komunikasi. Kendala yang dihadapi adalah ketika calon pembeli berasal dari luar kota, maka ongkir dapat menjadi lebih mahal dari harga tas sehingga transaksi sering batal karena hal tersebut. Namun Uwik mempunyai solusi jitu, yaitu menanyakan kepada pembeli apakah ia mempunyai kerabat di Jogja atau tidak. Jika si pembeli mempunyai kerabat di Jogja maka tas yang dibeli dapat diantar kesana.
Sebenarnya keinginan utama Uwik adalah berlibur di Bandung-Jakarta dengan menggunakan uangnya sendiri, keinginan tersebut akan segera terlaksana pada liburan pergantian semester besok. Hingga sekarang sudah terjual 80 item tas dengan model 50 jenis tas yang dipasarkan oleh Uwik. Cita-cita yang diinginkan Uwik adalah menjadi desainer tas. Oleh karena itu dalam usaha penjualan ini, menurut Uwik sebagai bentuk pembelajaran yang selain dapat menghasilkan keuntungan juga dapat mengenal berbagai jenis, bahan tas, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tas.
Selain mendapatkan keuntungan, kegiatan berwirausaha di kalangan mahasiswa juga merupakan sebuah pengalaman. Bertemu dengan banyak orang membuat terjalinnya relasi bisnis antara penjual dan pembeli. Itulah ide utama yang diungkapkan oleh Hanun (21), seorang mahasiswa konsentrasi jurnalistik, yang membuka usaha pakaian. Semenjak kecil, ia sudah terbiasa membantu ibunya yang berjualan pakaian di Pasar Condong Catur. Hanun mulai membantu memasarkan pakaian kepada teman-temannya ketika semester 2 di bangku kuliah. Ia mulai menawarkan kepada teman-temannya dengan membawa beberapa sampel pakaian yang sedang trend. Hal tersebut mendapat respon yang bagus sehingga hingga sekarang ia masih berusaha menjualkan pakaian yang ia ambil dari ibunya. Strategi pemasaran yang dipakai hanun lebih ke penjualan langsung atau face to face, hingga mulut ke mulut membuat Hanun tidak perlu lagi mempromosikannya secara langsung karena teman-teman akan mencarinya jika menginginkan baju yang di cari.
Keuntungan yang didapatkan Hanun berasal dari 10 % dari harga tiap baju yang ia jual. Ibunya pun juga memberikan jatah kepada Hanun untuk mengambil baju yang ia inginkan setiap satu bulan sekali sebagai upah karena telah membantu pemasarannya. Hanun yang juga bekerja sambilan sebagai MC di Taman Kuliner ini mengungkapkan bahwa keuntungan yang ia dapat dari penjualan baju digunakan untuk menambah uang saku dan seringkali ia gunakan untuk membeli perlengkapan yang menunjang pekerjaannya sebagai MC. ”sering banget aku liat banyak temen-temen yang mebeli baju di butik atau distro dengan harga yang mahal, padahal bahannya sama dengan baju yang aku jual”, jelas Hanun. Jadi Hanun merasa iba melihat teman-temannya membeli baju dengan harga mahal, sehingga ia menawarkan pakaian dengan harga murah agar teman-temannya dapat berhemat. ”Ya lebih baik untung dikit tapi barang yang dijual banyak, kan jadinya banyak juga”, ujar perempuan yang bercita-cita mendirikan toko pakaian seperti OB dengan harga terjangkau ini.
Pemilihan jenis usaha yang diinginkan memang juga dipengaruhi bakat atau keahlian seseorang. Seperti yang dialami oleh Ardan (21), lebih memilih membuka usaha foto Pre Wedding, dan dokumentasi suatu acara. Setelah menjadi juara II dalam lomba Rally Foto Hisfa 2009, ia merasa percaya diri untuk membuka usaha tersebut yang juga terinspirasi dari temannya. Tarif yang ia sediakan pun bermacam-macam, untuk tarif pre wedding Ekonomi berkisar dari 500-700 ribu rupiah, Silver berkisar 1 – 1,5 juta rupiah, sedangkan tarif Gold 2 juta keatas. Semuanya tergantung permintaan pelanggan, dan yang membedakannya adalah jumlah foto, lokasi pemotretan, dan kostum yang dikenakan.
Menjadi seorang fotografer Pre Wedding memang bukan cita-cita utama Ardan, tetapi hal tersebut sangat menunjang bagi karir Ardan yang bercita-cita menjadi fotografer profesional. ”selain tambah uang jajan, hobby ku juga tersalur, dan usaha ini mengasah keahlian agar menjadi terampil yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain”, jelas laki-laki yang memakai kacamata ini. Untuk masalah make up dan kostum, Ardan bekerja sama dengan teman-temannya, tetapi jika ia mendapat priyek yang besar dan membutuhkan lebih dari 1 fotografer maka ia dan teman-teman fotografernya siap bekerja sama. Dari usaha tersebut Ardan mendapatkan banyak pengalaman mulai dari lokasi, pakaian, stategi harga dan pemasaran, sehingga kealhian dan ilmu menjadi bertambah untuk proses pembelajaran dalam meraih cita-citanya.

Desy Natalianingrum (153070252)

BISNISKU ADALAH KEAHLIANKU


Dalam berbisnis memang dibutuhkan keahlian yang tidak berasal dari luar, tetapi berasal dari dalam diri seseorang itu sendiri. Keahlian seseorang merupakan sebuah bakat yang memang dimiliki dari dalam. Walaupun masih menempuh pendidikan jenjang strata 1, Ardan (21) memilih untuk membuka usaha fotografer Pre Wedding hingga dokumentasi suatu acara.


            Ardan adalah seorang mahasiswa UPN ”Veteran” Yogyakata jurusan Ilmu Komunikasi semester 5. Dalam kesehariannya ia merupakan seorang pemuda biasa yang menyukai dunia fotografi. Fotkom 401 (Fotografi Komunikasi 401) adalah sebuah KSM yang disediakan jurusan ilmu komunikasi sebagai kegiatan menambah ilmu dalam dunia fotografi yang diperuntukkan bagi mahasiswa komunikasi UPN. Ardan belajar mengenal kamera semenjak ia mengikuti KSM tersebut. Setelah itu ia mencoba kemampuannya untuk mengikuti lomba Foto Rally Hisfa 2009 di benteng Vedreburg pada 15 Maret. Tanpa disangka-sangka ia mendapatkan gelar juara II dengan menyisihkan peserta yang berjumlah sekitar 200 orang membuat Ardan semakin percaya diri akan keahliannya ini.
Hal tersebut dijadikan Ardan sebagai modal udaha dan semangat untuk berwirausaha fotografi Pre Wedding. Ide tersebut terinspirasi dari beberapa temannya yang juga sudah menekuni usaha dokumentasi acara atau produk. Sehingga ia mulai berani untuk mengambil proyek yang ditawarkan pelanggan untuk pertama kalinya menjadi fotografi Pre wedding setelah menjadi juara II. Tarif yang ditawarkan pun variatif, mulai dari tarif Ekonomi (500-700 ribu), Silver (1-1,5 juta), dan Gold (di atas 2 juta) tergantung permintaan pelangga. Yang membedakan antar tarifnya adalah jumlah foto, lokasi pemotretan, dan kostum yang akan dipakai.
Usaha ini menjadi langkah awal Ardan untuk menunjang cita-citanya sebagai fotografer profesional. Ketika ditanya tentang tidak sinkronnya antara keahlian dan jurusan yang ia ambil dalam kuliah, ia menjawab: ”ya aku pengen mempelajari bidang lain selain bidang yang aku gemari, biar wawasanku bertambah”. Ardan menjelaskan bahwa keahlian tidak harus diasah melalui jurusan atau lembaga yang sesuai tetapi harus dilatih supaya dapat berkembang  dengan baik. Karena selain menambah uang saku, hobby juga dapat tersalur, dan kemampuan pun dapat bermanfaat bagi diri sendiri karena bertambah terampil dan bermanfaat pula bagi orang lain dengan menyediakan jasa fotografer Pre Wedding maupun dokumentasi acara.

Desy Natalianingrum (153070252)

10 Januari 2010

keberadaan seni tari ‘kuda lumping’ dilupakan

Tarian yang berasal dari Temanggung ini, Keberadaannya hampir terlupakan oleh masyarakat karena masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air. kebudayaan tradisional di tanah air memang tidak lagi mendapat perhatian khusus dari masyarakat, terlihat dari turunnya seniman-seniman jalanan seperti seniman Kuda Lumping yang ada di Perempatan UPN ‘Veteran’ Yogyakarta.

Tarian tradisional Kuda Lumping yang dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno tempo doeloe. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Seni kebudayaan ini dapat menarik minat masyarakat zaman dulu, karena ditampilkan dalam bentuk hiburan pada masa itu.

Tarian Kuda Lumping yang berjumlah 150 orang ini berpencar keliling Jogja untuk mencari nafkah. Mereka memulai aktivitasnya dari jam 08.00 sampai 16.00. Mereka tak sengaja turun ke jalanan tak lain untuk mencari pendapatan di kala tak ada lagi orang yang mau menyewa mereka. Mereka biasanya keliling dari Satu kampong ke kampong yang lain, sesuai dengan panggilan. Tapi karena semakin hari minat masyarakat akan tarian mereka semakin menyusut, maka mereka memutuskan untuk turun ke jalanan. Pendapatan yang mereka peroleh setiap harinya Rp 50.000-Rp300.000, dibagi jumlah anggota kelompok 3-4 orang. “Setiap harinya pendapatan per hari dibagi jumlah anggota kelompok, tetapi jika perlengkapan make up kami habis sebelum dibagi, pendapatan tersebut dipotong untuk membeli perlengkapan make up”, ujar Dwi salah satu anggota tari Kuda Lumping.

Namun ada yang berbeda dengan kelompok mereka ini, Mereka mencari nafkah tidak dengan mengharap belas kasihan orang lain. Mereka mempertunjukkan kemampuan bakat seni yang mereka miliki dengan menari tarian Kuda Lumping. Tentu saja hal ini sangat menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Di tengah banyaknya pengamen jalanan dan pengemis yang bermodalkan belas kasih orang lain , kelompok mereka hadir memberikan sesuatu yang unik dan berbeda. Selain itu, mereka juga berniat agar tarian mereka tidak hilang ditelan masa apalagi sampai di klaim Negara tetangga seperti Malaysia. “Harapan saya seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia dari awal melestarikan dan mengenalkan segala budaya yang dimiliki Negara kita kepada Negara-negara lain jangan sampai kebudayaan yang kita miliki diklaim oleh Negara lain seperti kasus Negara kita dengan Malaysia”, oceh Asep salah satu anggota mereka.

Tapi keberadaan mereka di jalanan juga tak luput dari kendala-kendala dari dalam maupun dari luar kelompok, begitu juga dengan aparat keamanan. “Kalau konflik yang terjadi di dalam kelompok kecil kami disebabkan karena masalah minuman keras, Sedangkan dengan kelompok Kuda Lumping yang lain, tentang perebutan lahan. Waktu itu ada kelompok lain yang sudah dulu menempati lahan yang akan kami pakai. Mereka juga sudah menurunkan alat-alat mereka, sehingga terjadilah konflik, tapi akhirnya kami mengalah mencari tempat lain”, ujar Dwi. Lain halnya lagi dengan kendala dengan aparat keamanan yaitu terjaring razia SatPol PP, hal ini adalah kendala yang paling besar bagi mereka, karena barang-barang dan alat-alat music mereka bisa ditahan oleh aparat. “Paling-paling alat kami dibawa dan disita SatPol PP dan kami bias megambil alat-alat kami tersebut dengan syarat dengan membayar sejumlah uang. Tetapi kami tidak mengambilnya, kami memilih membeli alat-alat lagi dengan uang yang kami miliki”, ujar Dwi kesal.

Walau begitu kesenian Kuda Lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi dan mereka secara tidak langsung juga ikut menjaga asset-aset budaya bangsa.
(Adevia oki damara-153070167)

Makna Seni Tari Kuda Lumping

Kelompok tari Kuda Lumping tersebut lahir dari sebuah sanggar seni di Temanggung. Motivasi mereka masuk ke dalam sanggar dan belajar menari tarian Kuda Lumping adalah ketertarikan mereka di bidang seni. Walaupun menurut Dwi, mereka juga menganggur, dengan kata lain mereka membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Melalui tari Kuda Lumping, di samping mereka ikut berpartisipasi melestarikan kebudayaan tradisional asli Indonesia, mereka juga memperoleh nafkah untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.

Suatu pekerjaan yang cukup unik dan membanggakan. Di tengah semakin sulitnya memperoleh pekerjaan sekarang ini, dan semakin menyusutnya orang yang berminat akan kebudayaan tradisional, masih ada orang yang mampu melestarikannya dan dapat menjadikan kebudayaan tersebut sebagai sumber nafkah. Banyak orang yang salah paham dalam memaknai seni Kuda Lumping, mereka beranggapan bahwa para pelaku seni Kuda Lumping adalah pemuja roh hewan seperti roh kuda, anggapan itu adalah salah, simbol kuda disini hanya diambil semangatnya untuk memotivasi hidup, sama halnya dengan seporter sepak bola di Indonesia, di kota Malang misalnya, mereka menganggap bahwa dirinya adalah Singo Edan, seporter bola di Surabaya mereka menamakan dirinya Bajol Ijo, bahkan Negara Indonesia sendiri menggunakan sosok hewan sebagai lambang Negara yaitu seekor burung Garuda, yang kesemuanya itu adalah nama-nama hewan, jadi merupakan hal yang salah bila kesenian Kuda Lumping dianggap kelompok kesenian yang mendewakan hewan. Sekelompok orang juga beranggapan bahwa kesenian Kuda Lumping dengan kemusyrikan karena identik dengan kesurupan atau kalap, kemenyan, dupa dan bunga bungaan, anggapan bahwa kuda lumping dekat dengan kemusyrikan adalah tidak benar, justru para pelaku seni Kuda Lumping berusaha mengingatkan manusia bahwa di dunia ini ada dua macam alam kehidupan, ada alam kehidupan nyata dan alam kehidupan Gaib hal ini telah dijelaskan dalam Alqur`an surat Annas dan manusia wajib untuk mengimaninya. Fenomena kalap atau kesurupan bisa terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja, baik dikalangan arena Kuda Lumping maupun tempat-tempat formal seperti Sekolahan atau Pabrik, hal itu tergantung pada kondisi fisik dan Psikologis individu yang bersangkutan, sedangkan kemenyan, dupa dan bunga-bungaan tidak lebih dari sekedar wewangian yang tidak pernah dilarang dalam Islam bahkan dianjurkan penggunaanya. Namun kenyataannya tidak semua tari Kuda Lumping memasukkan unsure magic di dalamnya. Menurut Dwi, jenis tari kuda lumping bermacam-macam. Pecut dan pecahan kaca tersebut identik dengan debus. Di sanggar tempat ia belajar, hanya beberapa orang yang sudah lebih tua yang dapat melakukannya dan ilmunya pun sampai sekarang belum diturunkan kepada kami. Ini berarti tidak semua penari Kuda Lumping dapat melakukan pertunjukkan atau aksi-aksi yang sebagian banyak orang mereka anggap sebagai bentuk kemusyrikan.

Dengan adanya kelompok tari Kuda Lumping seperti mereka, seharusnya kita bisa lebih belajar banyak dari mereka. Mereka masih peduli tentang kebudayaan tradisional asli Indonesia. Melalui pekerjaan mereka sebagai penari Kuda Lumping, sekaligus mereka melestarikan apa yang menjadi identitas Negara kita. Baru-baru ini kita mendapati berita menarik tentang diklaimnya Reog Ponorogo oleh Malaysia dan menamainya dengan Barongan. Itu tidak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah dan generasi muda kita terhadap aset-aset budaya bangsa.
(Adevia oki damara-153070167)

08 Januari 2010

BOOMING BISNIS JASA TUKANG CUCI DI KOTA PELAJAR

Jogjakarta merupakan salah satu kota tujuan orang untuk mengenyam pendidikan. Di tempat yang sarat akan budaya ini setiap tahunnya selalu dipadati mahasiswa dari berbagai penjuru kota di Indonesia, karena di Jogja memiliki memiliki daya tarik tersendiri. Banyaknya perguruan tinggi berkualitaslah yang membuat mahasiswa mempercayakan Jogja sebagai tempat untuk menimba ilmu. Seiring bertambahnya mahasiswa untuk bersekolah di Jogja, masyarakat di sekitar kampus menyiasati keadaan ini dengan cara mendirikan kost-kostan bagi para pendatang sebagai tempat tinggal sementara. Masyarakat di sekitar kampus seolah mendapat berkah dari situasi ini. Sehingga muncul usaha jasa seperti rental komputer, counter HP, warnet (warung internet), dan lain-lain. Dengan merebaknya berbagai jasa yang seolah tak akan pernah ada habisnya jika diuraikan, kini hadir lagi satu bisnis yang menjanjikan yaitu usaha laundry atau usaha tukang cuci.

Laundry
Usaha pencucian segala macam pakaian yang memberikan kemudahan bagi kita. Pengguna dari jasa laundry tersebut biasanya mahasiswa yang tidak memiliki waktu luang atau sibuk terhadap aktivitasnya yang padat. Apalagi sekarang memasuki musim penghujan, orang akan bertindak cepat dengan memasukan cuciannya ke tempat laundry. Sehingga hampir disekitar tempat mereka tinggal banyak dijumpai usaha laundry. Seperti halnya Uci Sri Handayani (37), seorang ibu rumah tangga yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuka bisnis laundry di daerah Pleret, Bantul. 


Ibu Uci beranggapan dengan adanya bisnis laundry ini, beliau dapat memperoleh penghasilan tambahan karena laundry saat ini memang dibutuhkan oleh banyak orang. Usaha yang beliau jalani sudah berjalan selama 2 tahun. Pada awalnya beliau membutuhkan modal 25 juta rupiah untuk keperluan sewa tempat selama 1 tahun, 2 mesin cuci dan sebuah mesin pengering. Dari usaha ini diperoleh keuntungan setiap bulannya 40 % dari omset kotor.
Pelanggan yang sering menggunakan jasa ini berasal dari kalangan mahasiswa, pekerja kantor dan masyarakat di sekitarnya. Namun dalam usaha ini tidak selalu berjalan lancer, beliau menjelaskan terdapat kendala pada persaingan laundry yang dialami sealama menajalankan usaha cuci pakaian ini antara lain, mendapat komplain dari pelanggan mengenai ketidak tepatan waktu serta faktor listrik . Kemudian untuk menyikapi persaingan yang ketat pada usaha laundry, beliau berusaha untuk tepat waktu, melayani antar jemput cucian dan tentunya dengan memberikan pelayanan yang terbaik. Di akhir perbincangan beliau memberikan saran kepada pada mahasiswa, yang pertama agar jangan takut untuk berwirausaha. Yang kedua, selalu berpikir kreatif dan inovatif, serta yang ketiga jangan pernah menyerah dalam melakukan segala sesuatu yang bersifat positif. 


M.REZZA ADYTYA (153070373)